-
Konsep Seni Rupa meliputi: Hakikat Seni Rupa, Aspek-aspek Karya Seni Rupa dan Ragam Seni Rupa.
-
Dalam pengertian luas, seni rupa dapat dipahami sebagai “produk” atau sebagai “kemahiran” atau sebagai “kegiatan mencipta atau kegiatan kreasi”. Dapat dikatakan bahwa pengertian seni rupa bersifat majemuk karena jenis dan cakupannya demikian beragam dan luas.
-
Dalam pengertian terbatas seni rupa atau visual art dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ungkapan seni yang mengekspresikan pengalaman hidup, pengalaman estetis atau artistik manusia dengan menggunakan beragam unsur seni untuk menghasilkan susunan atau struktur karya seni rupa yang dapat dilihat, diamati, diraba, didengar atau diapresiasi oleh publik atau penikmat seni.
-
Fungsi Seni Rupa: mitologis, religius, edukasi, psikologis, ekspresi personal, praktis, sosial, ekonomis, komunikatif, dan budaya.
-
Karakteristik seni rupa ditandai oleh sifat utama seni rupa adalah sebagai objek maupun wahana pengembangan kreativitas, bersifat terbuka dan bebas, mengakomodasi pembaharuan dan berbagai kecenderungan praktek seni rupa yang pluralistik serta dipengaruhi kondisi dan situasi sosial-politik dan budaya. Sifat khusus lainnya dari seni rupa adalah sifat relatif atau tidak absolut. Dengan kata lain pengertian seni rupa seperti halnya seni bersifat majemuk, dinamis, bergerak bebas. Konsep seni rupa berkembang sejalan dengan kehidupan masyarakat yang terus berkembang,
-
Aspek-aspek dalam Seni Rupa yang terdiri dari: a) wujud dan isi dalam seni rupa, b) media dalam seni rupa, c) subject matter-material-teknik dalam seni rupa.
-
Wujud atau visioplastik adalah hasil konfigurasi dari permukaan dan sisi-sisi suatu bentuk yang dapat dilihat, diamati dan diraba. Wujud dari karya seni rupa dapat berupa wujud visual saja atau paduan wujud visual dengan unsur bunyi dan unsur gerak.
-
Isi atau ideoplastik adalah aspek ide atau gagasan atau tema atau makna (meaning) dari bentuk karya seni. Isi atau makna suatu karya seni rupa sangat bergantung pada persepsi penikmat atau publik seni. Makna dapat dibedakan menjadi makna denotatif dan makna konotatif.
-
Bentuk dapat dibedakan menjadi 2 jenis: bentuk beraturan dan bentuk tak beraturan.
-
Media berasal dari kata “medium” yang dapat diartikan sebagai sarana atau alat untuk menyampaikan pesan kepada penikmat atau publik seni.
-
Pokok soal atau subject matter dari suatu karya seni rupa adalah apa saja yang disajikan dalam karya itu, dapat berupa ide atau gagasan, objek-objek alami, peristiwa, atau kejadian-kejadian, tema, simbol-simbol dan alegori yang terdapat pada karya seni rupa.
-
Dalam proses pembentukan suatu karya seni rupa, interaksi antara media dengan subject matter dan material serta penguasaan teknik-teknik tertentu sangat penting dalam perwujudan suatu karya seni rupa. Penguasaan keterampilan teknik yang optimal adalah yang didukung dengan pengetahuan material meliputi: bahan dan alat-alat yang dipergunakan dalam berkarya.
-
Pengklasifikasian seni rupa yang umum dikenal menurut konsep Seni Rupa Barat (Konsep Seni Rupa Modern) adalah penggolongan berdasarkan aspek bentuk atau dimensi dan fungsi. Dari penggolongan atau klasifikasi ini dapat dipetakan cabang-cabang seni rupa yang termasuk di dalamnya.
-
Berdasarkan aspek bentuk dan dimensi karya seni rupa dapat diklasifikasikan menjadi karya seni rupa dua dimensi (dwimatra) dan tiga dimensi (trimatra).
-
Berdasarkan aspek fungsi seni rupa dapat diklasifikasikan menjadi: seni murni dan seni terapan.
-
Jenis seni rupa yang termasuk dalam cabang Seni Murni adalah Seni Gambar, Seni Lukis, Seni Patung dan Seni Grafis. Dalam perkembangannya beberapa media dalam seni terapan kemudian dipergunakan sebagai media ekspresi, seperti misalnya Seni Keramik dan Seni Fotografi.
-
Jenis seni rupa yang termasuk dalam cabang Seni Kriya adalah Kriya Keramik, Kriya Rotan, Kriya Kayu, Kriya Kerang, Kriya Emas, Kriya Kulit dan sebagainya. Beragam teknik digunakan untuk membuat karya seni kriya, seperti teknik: pahat, ukir, batik, anyam, tenun, ikat, macramé, dan lain-lain.
-
Jenis seni rupa yang termasuk dalam cabang Desain adalah Desain Produk, Desain Grafis, Desain Interior, Desain Eksterior, Desain Otomotif, Desain Elektronik dan sebagainya.
Pengetahuan Dasar Seni Rupa
-
Titik dan bintik adalah unsur rupa pertama yang merupakan awal dari pengembangan unsur rupa lainnya seperti: garis, wujud/raut, bentuk, bidang dan unsur-unsur rupa lainnya yang lebih kompleks/rumit struktur bentuknya.
-
Garis adalah rangkaian titik yang terjalin memanjang menjadi satu. Garis terdiri dari berbagai jenis, sifat atau kualitas yang dapat digunakan dari berbagai arah untuk memvisualisasikan gagasan tentang sesuatu bentuk sesuai imajinasi dan persepsi seseorang.
-
Rangkaian beberapa garis akan menghasilkan bentuk (dua dimensi) dalam rupa gambar. Bentuk dalam pengertian tiga dimensi adalah unsur seni rupa yang terbentuk karena ruang atau volume.
-
Bidang merupakan unsur rupa yang terjadi karena pertemuan dari beberapa garis. Bidang dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu bidang horizontal, vertikal dan melintang.
-
Secara kimia warna merupakan unsur rupa yang terbuat dari pigmen (zat warna). Sedang secara fisika warna terbentuk dari unsur cahaya. Warna dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok warna primer, sekunder, dan tersier.
-
Warna primer (pertama) adalah warna pokok, bukan terbuat dari campuran warna lain mana pun. Kelompok warna sekunder (kedua) terbentuk dari campuran warna primer dan warna primer lain. Warna tersier (ketiga) terjadi dari campuran warna sekunder dengan warna sekunder lain atau dengan warna primer.
-
Tekstur adalah sifat permukaan bahan dari suatu benda atau bidang. Tekstur dapat dibedakan antara: tekstur nyata dan tekstur semu. Tekstur semu pada karya seni rupa dua dapat dibuat dengan teknik pulas warna, teknik cetak/ dicap, teknik tempel. Sedang tekstur nyata dapat dibuat dengan teknik gurat, cukil, pahat, dan lain-lainnya (sesuai jenis bahan yang digunakan).
-
Kesatuan merupakan prinsip seni yang menjadikan unsur-unsur rupa dari suatu karya seni rupa terlihat tertata dengan selaras. Meskipun bentuk dan warnanya bervariasi namun tidak ada unsur-unsur yang terlihat berlebihan atau terlalu menonjol. Secara keseluruhan tampak utuh.
-
Untuk menciptakan keseimbangan dalam suatu karya seni rupa tri matra diperlukan kepekaan dalam mengatur kesebandingan dan keserasian bobot dari volume benda pada satu bagian dengan bagian lainnya. Keseimbangan pada karya seni rupa dwi matra dapat terbentuk dari pengaturan bentuk yang memiliki warna dan ukuran yang bervariasi. Misalnya, warna yang terang/cerah akan terkesan lebih ringan, sedang warna-warna gelap terkesan lebih berat.
-
Irama adalah perulangan dari unsur-unsur yang ditata berdasarkan variasi unsur-unsur rupa. Jenis perulangan misalnya: perulangan sejenis (repetitif), perulangan alternatif dan perulangan progresif.
-
Variasi perulangan dapat dibentuk melalui : perbedaan intensitas warna, perbedaan ukuran, perbedaan jarak atau posisi dari objek. Walau ada perbedaan namun tetap diupayakan tertata dengan teratur.
-
Proporsi atau perbandingan adalah keselarasan atau keserasian perbandingan ukuran antara satu bagian dengan keseluruhan bentuk. Misalnya, keserasian proporsi kepala dengan bagian tubuh lainnya pada gambar manusia.
-
Pusat perhatian merupakan upaya menghadirkan unsur rupa yang menonjol atau menarik sebagai aksentuasi agar karya seni rupa tampil lebih menarik.
-
Keserasian merupakan prinsip seni yang mengutamakan unsur keharmonisan tatanan unsur-unsur rupa. Keserasian dapat terbentuk dari unsur-unsur yang berbeda tetapi perpaduan unsur tersebut terlihat saling mendukung dan artistik.
-
Proses kreasi bermula dari tahap proses mental (rasa dan karsa) berlanjut pada proses dan bentuk fisik (cipta dan karya).
Keterampilan Seni Rupa
Keterampilan seni rupa terbagi menjadi
-
keterampilan berkarya dwi matra, meliputi:
-
Jenis atau ragam gambar. Gambar menempati peran yang sangat penting sebagai media ekspresi dan untuk mengomunikasikan gagasan desain. Setiap jenis gambar memiliki karakteristik dan prinsip estetik yang berbeda sesuai dengan fungsi dan tujuannya.
-
Media Gambar. Jenis media gambar yang dapat digunakan tergantung pada jenis gambarnya.
-
Teknik dan prosedur. Teknik yang dipergunakan dalam membuat karya seni dwi matra sesuai dengan jenis karya dan bahan serta alat yang dipergunakan.
-
teknik berkarya dwi matra, di antaranya adalah teknik pulas, semprot, mozaik, kolase, inlai, patri, ukir, gores, cetak tinggi, cetak dalam, cetak saring, selup dan sulam.
-
Menggambar ragam hias.
Menggambar ragam hias merupakan proses menggambar motif hias untuk berbagai fungsi dekoratif
-
corak ragam hias dapat diklasifikasikan ke dalam geometris, organis, natural dan perpaduannya.
-
Warna ragam hias menempati peran yang penting dalam ragam hias.
-
Keterkaitan corak ragam hias dengan teknik bentuk corak yang terdapat dalam ragam hias tekstil sering kali dipengaruhi oleh alat dan teknik yang digunakan dalam membuat motif.
-
Kegiatan menata pola ragam hias menentukan keindahan tekstil yang dihasilkan.
-
Memilih corak ragam hias dapat disesuaikan dengan teknik yang dipilih.
-
Membuat pola ragam hias pada rancangan tekstil unsur bentuk, warna dan tekstur tidak dapat dipisahkan.
-
Membuat komposisi pola ragam hias adalah kegiatan yang dilakukan setelah membuat pola ragam hias.
-
Menggambar bentuk.
Menggambar bentuk merupakan proses pengamatan dan penggambaran objek di atas bidang dua dimensi melalui suatu media gambar dengan berbagai ketentuan.
-
dalam kegiatan menggambar, objek sering disebut benda atau model. Benda dibedakan menjadi bentuk kubistis, silindris dan bebas. Sedangkan model biasanya objeknya adalah manusia.
-
Prinsip menggambar bentuk adalah perspektif, proporsi, komposisi, gelap-terang, bayang-bayang.
-
Teknik menggambar bentuk antara lain: linear, blok, arsir, dusel, pointilis, aquarel, plakat.
-
Pendekatan menggambar bentuk yang dapat digunakan adalah pendekatan dengan model dan tanpa model.
-
Langkah-langkah dalam menggambar bentuk:
-
pengamatan
-
membuat sketsa
-
menentukan gelap-terang
-
menentukan teknik
-
sentuhan akhir.
Zaman prasejarah
Secara historis, seni lukis sangat terkait dengan gambar. Peninggalan-peninggalan prasejarah memperlihatkan bahwa sejak ribuan tahun yang lalu, nenek moyang manusia telah mulai membuat gambar pada dinding-dinding gua untuk mencitrakan bagian-bagian penting dari kehidupan mereka.
Semua kebudayaan di dunia mengenal seni lukis. Ini disebabkan karena lukisan atau gambar sangat mudah dibuat. Sebuah lukisan atau gambar bisa dibuat hanya dengan menggunakan materi yang sederhana seperti arang, kapur, atau bahan lainnya. Salah satu teknik terkenal gambar prasejarah yang dilakukan orang-orang gua adalah dengan menempelkan tangan di dinding gua, lalu menyemburnya dengan kunyahan daun-daunan atau batu mineral berwarna.
Hasilnya adalah jiplakan tangan berwana-warni di dinding-dinding gua yang masih bisa dilihat hingga saat ini. Kemudahan ini memungkinkan gambar (dan selanjutnya lukisan) untuk berkembang lebih cepat daripada cabang seni rupa lain seperti seni patung dan seni keramik.
Seperti gambar, lukisan kebanyakan dibuat di atas bidang datar seperti dinding, lantai, kertas, atau kanvas. Dalam pendidikan seni rupa modern di Indonesia, sifat ini disebut juga dengan dwi-matra (dua dimensi, dimensi datar). Seiring dengan perkembangan peradaban, nenek moyang manusia semakin mahir membuat bentuk dan menyusunnya dalam gambar, maka secara otomatis karya-karya mereka mulai membentuk semacam komposisi rupa dan narasi (kisah/cerita) dalam karya-karyanya.
Objek yang sering muncul dalam karya-karya purbakala adalah manusia, binatang, dan obyek-obyek alam lain seperti pohon, bukit, gunung, sungai, dan laut. Bentuk dari obyek yang digambar tidak selalu serupa dengan aslinya. Ini disebut citra dan itu sangat dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis terhadap obyeknya. Misalnya, gambar seekor banteng dibuat dengan proporsi tanduk yang luar biasa besar dibandingkan dengan ukuran tanduk asli. Pencitraan ini dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis yang menganggap tanduk adalah bagian paling mengesankan dari seekor banteng. Karena itu, citra mengenai satu macam obyek menjadi berbeda-beda tergantung dari pemahaman budaya masyarakat di daerahnya. Pencitraan ini menjadi sangat penting karena juga dipengaruhi oleh imajinasi. Dalam perkembangan seni lukis, imajinasi memegang peranan penting hingga kini.
Pada mulanya, perkembangan seni lukis sangat terkait dengan perkembangan peradaban manusia. Sistem bahasa, cara bertahan hidup (memulung, berburu dan memasang perangkap, bercocok-tanam), dan kepercayaan (sebagai cikal bakal agama) adalah hal-hal yang mempengaruhi perkembangan seni lukis. Pengaruh ini terlihat dalam jenis obyek, pencitraan dan narasi di dalamnya. Pada masa-masa ini, seni lukis memiliki kegunaan khusus, misalnya sebagai media pencatat (dalam bentuk rupa) untuk diulangkisahkan. Saat-saat senggang pada masa prasejarah salah satunya diisi dengan menggambar dan melukis. Cara komunikasi dengan menggunakan gambar pada akhirnya merangsang pembentukan sistem tulisan karena huruf sebenarnya berasal dari simbol-simbol gambar yang kemudian disederhanakan dan dibakukan.
Pada satu titik, ada orang-orang tertentu dalam satu kelompok masyarakat prasejarah yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk menggambar daripada mencari makanan. Mereka mulai mahir membuat gambar dan mulai menemukan bahwa bentuk dan susunan rupa tertentu, bila diatur sedemikian rupa, akan nampak lebih menarik untuk dilihat daripada biasanya. Mereka mulai menemukan semacam cita-rasa keindahan dalam kegiatannya dan terus melakukan hal itu sehingga mereka menjadi semakin ahli. Mereka adalah seniman-seniman yang pertama di muka bumi dan pada saat itulah kegiatan menggambar dan melukis mulai condong menjadi kegiatan seni.
Seni lukis zaman klasik
Seni lukis zaman klasik kebanyakan dimaksudkan untuk tujuan:
- Mistisme (sebagai akibat belum berkembangnya agama)
- Propaganda (sebagai contoh grafiti di reruntuhan kota Pompeii),
Di zaman ini lukisan dimaksudkan untuk meniru semirip mungkin bentuk-bentuk yang ada di alam. Hal ini sebagai akibat berkembangnya ilmu pengetahuan dan dimulainya kesadaran bahwa seni lukis mampu berkomunikasi lebih baik daripada kata-kata dalam banyak hal. Selain itu, kemampuan manusia untuk menetap secara sempurna telah memberikan kesadaran pentingnya keindahan di dalam perkembangan peradaban.
Seni lukis zaman pertengahan
Sebagai akibat terlalu kuatnya pengaruh agama di zaman pertengahan, seni lukis mengalami penjauhan dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sihir yang bisa menjauhkan manusia dari pengabdian kepada Tuhan. Akibatnya, seni lukis pun tidak lagi bisa sejalan dengan realitas.
Kebanyakan lukisan di zaman ini lebih berupa simbolisme, bukan realisme. Sehingga sulit sekali untuk menemukan lukisan yang bisa dikategorikan "bagus".
Lukisan pada masa ini digunakan untuk alat propaganda dan religi. Beberapa agama yang melarang penggambaran hewan dan manusia mendorong perkembangan abstrakisme (pemisahan unsur bentuk yang "benar" dari benda).
Namun sebagai akibat pemisahan ilmu pengetahuan dari kebudayaan manusia, perkembangan seni pada masa ini mengalami perlambatan hingga dimulainya masa renaissance.
Seni lukis zaman Renaissance
Berawal dari kota Firenze. Setelah kekalahan dari Turki, banyak sekali ahli sains dan kebudayaan (termasuk pelukis) yang menyingkir dari Bizantium menuju daerah semenanjung Italia sekarang.
Dukungan dari keluarga deMedici yang menguasai kota Firenze terhadap ilmu pengetahuan modern dan seni membuat sinergi keduanya menghasilkan banyak sumbangan terhadap kebudayaan baru Eropa.
Seni Rupa menemukan jiwa barunya dalam kelahiran kembali seni zaman klasik. Sains di kota ini tidak lagi dianggap sihir, namun sebagai alat baru untuk merebut kembali kekuasaan yang dirampas oleh Turki.
Pada akhirnya, pengaruh seni di kota Firenze menyebar ke seluruh Eropa hingga Eropa Timur.
Tokoh yang banyak dikenal dari masa ini adalah:
Art Nouveau
Revolusi Industri di Inggris telah menyebabkan mekanisasi di dalam banyak hal. Barang-barang dibuat dengan sistem produksi massal dengan ketelitian tinggi. Sebagai dampaknya, keahlian tangan seorang seniman tidak lagi begitu dihargai karena telah digantikan kehalusan buatan mesin.
Sebagai jawabannya, seniman beralih ke bentuk-bentuk yang tidak mungkin dicapai oleh produksi massal (atau jika bisa, akan biaya pembuatannya menjadi sangat mahal). Lukisan, karya-karya seni rupa, dan kriya diarahkan kepada kurva-kurva halus yang kebanyakan terinspirasi dari keindahan garis-garis tumbuhan di alam.
Sejarah seni lukis di Indonesia
Seni lukis modern Indonesia dimulai dengan masuknya penjajahan Belanda di Indonesia. Kecenderungan seni rupa Eropa Barat pada zaman itu ke aliran romantisme membuat banyak pelukis Indonesia ikut mengembangkan aliran ini. Awalnya pelukis Indonesia lebih sebagai penonton atau asisten, sebab pendidikan kesenian merupakan hal mewah yang sulit dicapai penduduk pribumi. Selain karena harga alat lukis modern yang sulit dicapai penduduk biasa.
Raden Saleh Syarif Bustaman adalah salah seorang asisten yang cukup beruntung bisa mempelajari melukis gaya Eropa yang dipraktekkan pelukis Belanda.
Raden Saleh kemudian melanjutkan belajar melukis ke Belanda, sehingga berhasil menjadi seorang pelukis Indonesia yang disegani dan menjadi pelukis istana di beberapa negera Eropa.
Namun seni lukis Indonesia tidak melalui perkembangan yang sama seperti zaman renaisans Eropa, sehingga perkembangannya pun tidak melalui tahapan yang sama.
Era revolusi di Indonesia membuat banyak pelukis Indonesia beralih dari tema-tema romantisme menjadi cenderung ke arah "kerakyatan". Objek yang berhubungan dengan keindahan alam Indonesia dianggap sebagai tema yang mengkhianati bangsa, sebab dianggap menjilat kepada kaum kapitalis yang menjadi musuh ideologi komunisme yang populer pada masa itu. Para pelukis kemudian beralih kepada potret nyata kehidupan masyarakat kelas bawah dan perjuangan menghadapi penjajah.
Selain itu, alat lukis seperti cat dan kanvas yang semakin sulit didapat membuat lukisan Indonesia cenderung ke bentuk-bentuk yang lebih sederhana, sehingga melahirkan abstraksi.
Gerakan Manifesto Kebudayaan yang bertujuan untuk melawan pemaksaan ideologi komunisme membuat pelukis pada masa 1950an lebih memilih membebaskan karya seni mereka dari kepentingan politik tertentu, sehingga era ekspresionisme dimulai. Lukisan tidak lagi dianggap sebagai penyampai pesan dan alat propaganda, namun lebih sebagai sarana ekspresi pembuatnya. Keyakinan tersebut masih dipegang hingga saat ini.
Perjalanan seni lukis kita sejak perintisan R. Saleh sampai awal abad XXI ini, terasa masih terombang-ambing oleh berbagai benturan konsepsi.
Kemapanan seni lukis Indonesia yang belum mencapai tataran keberhasilan sudah diporak-porandakan oleh gagasan modernisme yang membuahkan seni alternatif atau seni kontemporer, dengan munculnya seni konsep (conceptual art): “Installation Art”, dan “Performance Art”, yang pernah menjamur di pelosok kampus perguruan tinggi seni sekitar 1993-1996. Kemudian muncul berbagai alternatif semacam “kolaborasi” sebagai mode 1996/1997. Bersama itu pula seni lukis konvensional dengan berbagai gaya menghiasi galeri-galeri, yang bukan lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat, tetapi merupakan bisnis alternatif investasi.[rujukan?]
Aliran seni lukis
Surrealisme
Lukisan dengan aliran ini kebanyakan menyerupai bentuk-bentuk yang sering ditemui di dalam mimpi. Pelukis berusaha untuk mengabaikan bentuk secara keseluruhan kemudian mengolah setiap bagian tertentu dari objek untuk menghasilkan sensasi tertentu yang bisa dirasakan manusia tanpa harus mengerti bentuk aslinya.
Kubisme
Adalah aliran yang cenderung melakukan usaha abstraksi terhadap objek ke dalam bentuk-bentuk geometri untuk mendapatkan sensasi tertentu. Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah Pablo Picasso.
Romantisme
Merupakan aliran tertua di dalam sejarah seni lukis modern Indonesia. Lukisan dengan aliran ini berusaha membangkitkan kenangan romantis dan keindahan di setiap objeknya. Pemandangan alam adalah objek yang sering diambil sebagai latar belakang lukisan.
Romantisme dirintis oleh pelukis-pelukis pada zaman penjajahan Belanda dan ditularkan kepada pelukis pribumi untuk tujuan koleksi dan galeri di zaman kolonial. Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah Raden Saleh.
Aliran lain
Ekspresionisme
"View of Toledo" oleh
El Greco,
1595/
1610 dipercaya memiliki pengaruh besar terhadap ekspresionisme abad 20, meskipun sebenarnya lukisan ini beraliran manerisme.
Ekspressionisme adalah kecenderungan seorang seniman untuk mendistorsi kenyataan dengan efek-efek emosional. Ekspresionisme bisa ditemukan di dalam karya lukisan, sastra, film, arsitektur, dan musik. Istilah emosi ini biasanya lebih menuju kepada jenis emosi kemarahan dan depresi daripada emosi bahagia.
Pelukis Matthias Grünewald dan El Greco bisa disebut ekspresionis.
Perupa ekspresionis
Perupa dari abad 20 yang tergolong ekspresionis adalah:
- Jerman: Heinrich Campendonk, Emil Nolde, Rolf Nesch, Franz Marc, Ernst Barlach, Wilhelm Lehmbruck, Erich Heckel, Karl Schmidt-Rottluff, Ernst Ludwig Kirchner, Max Beckmann, August Macke, Elfriede Lohse-Wächtler, Ludwig Meidner, Paula Modersohn-Becker, Gabriele Münter, dan Max Pechstein.
- Austria: Egon Schiele dan Oskar Kokoschka
- Russia: Wassily Kandinsky dan Alexei Jawlensky
- Netherlands: Charles Eyck, Willem Hofhuizen, Jaap Min, Jan Sluyters, Jan Wiegers dan Hendrik Werkman
- Belgia: Constant Permeke, Gust De Smet, Frits Van den Berghe, James Ensor, Floris Jespers, dan Albert Droesbeke.
- Perancis: Gen Paul dan Chaim Soutine
- Norwegia: Edvard Munch
- Swiss: Carl Eugen Keel
- Indonesia: Affandi
Impresionisme
Impresionisme adalah suatu gerakan seni dari abad 19 yang dimulai dari Paris pada tahun 1860an. Nama ini awalnya dikutip dari lukisan Claude Monet, "Impression, Sunrise" ("Impression, soleil levant"). Kritikus Louis Leroy menggunakan kata ini sebagai sindiran dalam artikelnya di Le Charivari.
Karakteristik utama lukisan impresionisme adalah kuatnya goresan kuas, warna-warna cerah (bahkan banyak sekali pelukis impresionis yang mengharamkan warna hitam karena dianggap bukan bagian dari cahaya), komposisi terbuka, penekanan pada kualitas pencahayaan, subjek-subjek lukisan yang tidak terlalu menonjol, dan sudut pandang yang tidak biasa.
Pengaruh impresionisme dalam seni rupa juga merambah ke bidang musik dan sastra.
REALISME
Perupa realis selalu berusaha menampilkan kehidupan sehari-hari dari karakter, suasana, dilema, dan objek, untuk mencapai tujuan Verisimilitude (sangat hidup). Perupa realis cenderung mengabaikan drama-drama teatrikal, subjek-subjek yang tampil dalam ruang yang terlalu luas, dan bentuk-bentuk klasik lainnya yang telah lebih dahulu populer saat itu.
Dalam pengertian lebih luas, usaha realisme akan selalu terjadi setiap kali perupa berusaha mengamati dan meniru bentuk-bentuk di alam secara akurat. Sebagai contoh, pelukis foto di zaman renaisans, Giotto bisa dikategorikan sebagai perupa dengan karya realis, karena karyanya telah dengan lebih baik meniru penampilan fisik dan volume benda lebih baik daripada yang telah diusahakan sejak zaman Gothic.
Kejujuran dalam menampilkan setiap detail objek terlihat pula dari karya-karya Rembrandt yang dikenal sebagai salah satu perupa realis terbaik. Kemudian pada abad 19, sebuah kelompok di Perancis yang dikenal dengan nama Barbizon School memusatkan pengamatan lebih dekat kepada alam, yag kemudian membuka jalan bagi berkembangnya impresionisme. Di Inggris, kelompok Pre-Raphaelite Brotherhood menolak idealisme pengikut Raphael yang kemudian membawa kepada pendekatan yang lebih intens terhadap realisme.
Teknik Trompe l'oeil, adalah teknik seni rupa yang secara ekstrim memperlihatkan usaha perupa untuk menghadirkan konsep realisme.
Seberapa besarkah pengaruh Islam terhadap kesenian di Indonesia? Ada anggapan, kedatangan Islam di kepulauan Nusantara tak banyak mempengaruhi aspek-aspek kesenian yang ada di negeri ini, kecuali kaligrafi dan arsitektur mesjid.
Pada zaman Islam, saat mayoritas penduduk Indonesia telah memeluk Islam, negeri kepulauan ini seolah-olah tak punya hasil-hasil seni yang mengesankan seperti pada zaman megalitikum, di mana terdapat kebudayaan batu besar yang halus dan keahlian membuat perkakas upacara dari perunggu.
Kesenian juga mencapai reputasi yang mengesankan semasa Hindu-Buddha, ketika penduduk di Jawa dan Bali membangun candi-candi dengan arsitektur yang mengagumkan, yang salah satunya merupakan monumen dunia dan salah satu keajaiban dunia (Candi Borobudur). Lalu, semasa kolonialisme Eropa, orang Belandalah yang memperkenalkan arsitektur yang hingga kini tetap dikagumi, juga memperkenalkan seni lukis Barat yang hingga kini masih populer, yaitu cat minyak di atas kanvas.
Semua itu masih ditambah hambatan yang dialami para seniman Islam sendiri, yang membatasi diri untuk tidak menciptakan karya-karya yang “tak Islami”. Berlawanan dengan paham ekspresi kebebasan yang dianut kebanyakan aliran seni, kesenian yang dianggap Islami justru membatasi diri dalam hal kreasi maupun ekspresinya, misalnya, tak boleh melukiskan figur makhluk hidup, juga tak boleh melukiskan wujud Nabi Muhammad. Akibatnya, banyak orang beranggapan, Islam tak mendukung seni rupa. Mereka mengacu kepada hadis (hadith), salah satu rujukan mengenai sunnah atau prilaku Nabi Muhammad, yang menyebutkan larangan melukis binatang, membuat patung, memotret, dan lain-lain. Walhasil, kita nyaris tak melihat adanya kesenian yang disebut seni rupa Islam, selain kaligrafi arab dan arsitektur mesjid.
Tapi, apakah yang dimaksud dengan kesenian Islam? Apakah Islam itu mengajarkan kesenian, sebagaimana kita dapati dalam Hinduisme, Buddhisme, atau Katolik Roma?
Mari kita berupaya untuk memahami hubungan antara agama dan seni, dan mencoba mencairkan ketegangan yang ada di antara dua wilayah ini. Pertama, tinjauan seputar terminologi. Apakah yang dimaksud dengan seni rupa Islam?
Seni rupa dan Islam adalah dua kategori yang berbeda. Seni rupa, sejauh cakupan makna yang membatasinya, tentu tak akan melampaui wilayah yang lebih besar daripada budaya, karena seni adalah bagian dari kebudayaan manusia. Seni rupa adalah kreasi manusia, yang artinya berasal dari kebebasan manusia untuk berkarya. Islam, berbeda dengan seni, bukanlah kebudayaan yang merupakan hasil kreasi manusia. Islam adalah seperangkat aturan dari Allah yang diturunkan kepada manusia agar ia mencapai keselamatan di dunia dan akhirat. Karena Islam bukan kebudayaan, maka yang disebut “kesenian Islam” tentunya tidak mengacu kepada jenis budaya tertentu yang bersifat lokal atau etnik, seperti kesenian Bali (contohnya, lukisan Bali) atau kesenian Timur Tengah (semisal orkes gambus). Yang dinamakan kesenian Islam tentunya kesenian yang setidaknya tidak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan akidah maupun akhlak Islam. Kesenian ini bisa berupa apa saja sesuai konteks geokultural tempat kesenian itu berasal, juga sesuai komunitas pendukungnya (tradisional, modern, atau kontemporer). Dia bisa berupa kesenian lokal seperti lukisan kaca khas Cirebon atau pun instalasi karya alumni perguruan tinggi seni.
Karena Islam bukanlah entitas budaya tertentu, akan lebih tepat bila menjelaskan kesenian yang dimaksud secara ajektifal yaitu sebagai “kesenian yang islami”. Kesenian yang dimaksud mengandung --atau setidaknya tak menyalahi-- nilai-nilai Islam, meski tak berasal dari etnik atau komunitas yang berafiliasi dengan agama Islam. Tari perut, meski berasal dari daerah berpenduduk muslim di Timur Tengah, bukanlah kesenian yang islami karena bertentangan dengan nilai-nilai akhlak Islam.
Sebaliknya, ketika kita melihat karya-karya sketsa Romo Mudji Sutrisno (lahir 1955), seorang pastur yang selain menulis juga mulai menggeluti bidang seni rupa, mereka justru tampak islami sesuai penafsiran tertentu mengenai seni rupa Islam. Dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini menggelar pameran sketsanya pada pertengahan hingga akhir Januari 2007 dengan tema Dimensi Estetika Mudji Sutrisno. Digelar di Galeri Nasional Indonesia, pameran menampilkan sekitar 180-an sketsa tentang gereja-gereja di Eropa Selatan dan Rusia. Peraih gelar PhD dari Universitas Gregoriana, Roma (1986) ini banyak menampilkan bangunan-bangunan gereja dan lingkungan alam di sekelilingnya, tanpa menghadirkan figur manusia apalagi figur telanjang yang biasanya banyak menghiasi bangunan-bangunan ibadah bersejarah di Eropa. Dalam pandangannya tentang estetika, Mudji menyebutkan bahwa meskipun pada masa kekuasaan Islam (kekhalifahan di Suriah abad ke-7 M) masih ada sikap saling menerima antara umat Islam dan Kristen, di kalangan umat Kristiani berkembanglah perasaan malu dengan begitu banyak ikon dan gambar di gereja-gereja dan tempat-tempat umum lainnya. Selain itu, seperti termuat dalam buku Estetika, Filsafat Keindahan karya Dr Fx Mudji Sutrisno dan Prof Dr Christ Verhaak (Yogyakarta 1993), ada rasa curiga di kalangan tertentu dalam umat Kristen sendiri terhadap penghormatan ikon dan patung Kristus seakan-akan “keilahian-Nya kurang diakui”. Kelompok yang melawan ikon-ikon suatu saat didukung oleh kaisar, lalu terjadilah ikonoklasme atau penghancuran ikon besar-besaran.
Sejarah Kristen mengenal iconoclasm, ‘penghancuran ikon’ yaitu suatu doktrin tertentu pada abad ke-8 dan ke-9 yang melarang segala bentuk penggambaran material dalam agama Kristen. Asal mula gerakan yang menentang pemujaan terhadap imaji (images) disebut-sebut sebagai akibat pengaruh dari agama Islam yang pada masa itu memang melarang semua gambar maupun patung berbentuk manusia. Namun, sesungguhnya di kalangan Kristen sendiri telah muncul ketidaksukaan terhadap imaji orang-orang suci yang ditakutkan bakal dipuja sebagai berhala. Sekte Paulicians dalam doktrinnya mengatakan bahwa bentuk-bentuk agama secara eksternal, sakramen, ritus, benda keramat, harus dimusnahkan. Mereka juga melarang penghormatan kepada salib, karena (sebagaimana dipercaya umat Islam), Yesus tak pernah disalib (Lihat situs Catholic Encyclopedia di www. newadvent. org).
Tapi, benarkah Islam melarang penggambaran manusia? Pertanyaan ini mengantarkan kita kepada tinjauan seni berdasarkan syariat (hukum Islam). Kontroversi tentang larangan membuat gambar, patung, atau fotografi yang melanda hampir di seluruh dunia muslim, sebetulnya berpangkal dari penafsiran terhadap larangan yang dimaksud. Jika para ulama dan penulis muslim tampak sependapat dalam satu hal, yaitu tentang adanya beberapa hadis yang melarang penciptaan sesuatu (gambar atau patung), mereka tidak menyebutkan adanya larangan yang sama yang berasal dari ayat Al-Quran --kitab suci yang wajib diimani sebagi pegangan sekaligus pelajaran bagi orang beriman.
Hadith atau hadis adalah catatan para sahabat mengenai sunnah atau prilaku Nabi Muhammad Rasulullah --sebagai figur terbaik yang mencontohkan bagaimana keislaman itu sebaiknya dipraktikkan. Tapi, hadis sendiri bukan sunnah. Hadis adalah data-data tertulis yang perlu diperlakukan secara kritis sebagaimana kita memperlakukan data-data tekstual dalam buku-buku sejarah, yang berguna untuk mengetahui sunnah Nabi yang sesungguhnya. Bahkan, di kalangan ulama banyak yang berpendapat tentang tidak kafirnya seseorang yang mengingkari hadis (lihat Ezzedin Ibrahim, 2005, 40 Hadits Qudsi Pilihan, Diterjemahkan oleh M Quraish Shihab). Hadis dapat diterima sejauh itu sahih dan memiliki basisnya dalam Quran.
Di sini Quran, yang mengklaim kitab ini sebagai “batu ujian” atau koreksi bagi ajaran-ajaran wahyu sebelumnya dari penyimpangan akibat tangan-tangan tak bertanggung jawab, memang tak menyebut larangan mengenai penciptaan imaji makhluk hidup berupa potret atau karya lainnya. Kitab ini malah menuturkan bahwa Nabi Sulaiman, salah seorang pembawa risalah monoteistik, mencipta banyak patung dengan perantaraan pasukan jin di bawah kepemimpinannya (Quran Surah 34: 13).
Pandangan bahwa Islam melarang seni rupa adalah tafsiran sebagian orang Islam. Dan pandangan ini, menurut penulis Pakistan Sehzad Saleem justru tidak konsisten dengan Islam sendiri. Saleem mengingatkan, hanya kitab suci Al-Quran yang melarang segala sesuatu dalam Islam. Menurutnya, kebanyakan hadis mengenai larangan membuat patung atau gambar memiliki redaksi sebagai berikut, “Barang siapa membuat gambar seperti ini …, ” yang berarti mengacu kepada bentuk tertentu secara spesifik, dan tak menyebut semua jenis imaji (lihat Agung Puspito, 2005. “Nuditas, Seni Rupa, dan Agama, ” dalam Buletin Citta YSRI Edisi IX).
Sayangnya, di antara kebanyakan kitab hadis, seperti yang ada di Indonesia, kita tak punya catatan mengenai gambar atau imaji seperti apa yang dimaksud. Kebanyakan hadis tidak membedakan antara gambar yang dua dimensional dan patung yang tiga dimensi. Keduanya disebut shūroĥ (plural, shuwar). Bacalah hadis yang disahihkan oleh Bukhari di bawah ini, yang diriwayatkan oleh ‘Aiŝah istri Nabi,
Dari ‘Aiŝah ra, “Saya membeli sebuah bantal yang bergambar-gambar. Nabi saw berdiri saja di pintu, tidak mau masuk ke dalam. Lalu kata saya, ‘Saya bertobat kepada Allah seandainya saya salah. ’
Nabi berkata, ‘Untuk apa bantal itu?’
Jawab saya, ‘Supaya Anda duduk dan bersandar di situ. ’
Sabda beliau, ‘Sesungguhnya orang yang membuat gambar semacam ini akan disiksa pada hari kiamat, dikatakan kepadanya, hidupkanlah apa yang kau buat itu! Sesungguhnya malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di situ ada gambar (shūroĥ). ’”
Dalam hadis ini sebetulnya penerjemah (H Zainuddin Hamidy dkk, Terjemah Hadis Shahih Bukhari Jilid IV, Jakarta, 1982) mengartikan shūroĥ sebagai ‘gambar hewan’, tapi penulis Art-ysri menggunakan arti yang lebih umum, ‘gambar’ saja. Pasalnya, pencatat hadis tak mencandra secara detil gambar apa yang terdapat pada bantal ‘Aiŝah. Beberapa hadis memang tak menyertakan unsur penting berupa deskripsi menyangkut gambar yang dimaksud.
Adapun shūroĥ dalam bahasa arab modern tampaknya memiliki makna yang luas, sehingga mencakup patung dan fotografi. Istilah ini sepadan dengan bahasa Inggris image, yang salah satu artinya adalah ‘imitasi dari bentuk eksternal suatu objek, misalnya, objek pemujaan’ (lihat edisi paperback The Pocket Oxford Dictionary, 1984).
Maka, menurut Sehzad Saleem, dengan mengumpulkan hadis-hadis mengenai pencitraan makhluk hidup didapatkan gambaran bahwa larangan itu mengacu kepada pencitraan dalam kategori tertentu yang memperoleh status berhala (idols) dan dipuja sebagai berhala. Praktik pemujaan seperti ini merajalela pada awal berkembangnya Islam. Bahkan, interior kaabah pada zaman Nabi pernah diisi berbagai patung yang disembah penduduk di Semenanjung Arabia. Di antaranya, terdapat gambar para nabi dan orang suci seperti Ibrahim, Isa, dan ibunda Isa Maria.
Saleem menyimpulkan, larangan pembuatan imaji yang dimaksud bukan lantaran kejahatan intrinsik yang ada padanya, melainkan karena sumbangsihnya terhadap praktik politeistik (muŝrik) masyarakat pada awal kehadiran Islam, dan karena hal itu bisa membangkitkan sentimen-sentimen dasar (termasuk nafsu syahwat) dalam diri seseorang.
Senada dengan Saleem, penulis Sejarah Kesenian Islam C Israr (Jakarta, 1978) menyebutkan terjadinya kontroversi dalam soal seni rupa juga disebabkan oleh tiadanya batasan yang tegas tentang boleh tidaknya kesenian itu. Ia berpendapat bahwa boleh tidaknya melukis dan mematung perlu dilihat dari semangat larangan tersebut. Menurutnya, larangan melukiskan bentuk makhluk bernyawa, pada awal lahirnya agama Islam, memang perlu jika dipandang dari segi tauhid. Sebab, ketika Nabi masih hidup, di Mekah masih bertaburan puing-puing bekas reruntuhan arca sesembahan nenek moyang bangsa Arab. Jika semua berhala itu tidak dihancurkan, jika seni patung itu dibiarkan berkembang, akan tumbuh tunas baru dari kepercayaan lama yang akan menggoyahkan sendi-sendi tauhid mereka yang baru memeluk Islam. Tapi, lanjut Israr, “Ketika hakikat tauhid telah mendarah daging dalam tubuh umat Islam dan mereka tahu patung-patung itu tak sanggup berbuat apa pun, maka tidak ada alasan bahwa kepercayaan yang telah terkubur itu akan hidup kembali di tengah-tengah keyakinan umat Islam yang telah maju. ”
Sebetulnya kontroversi seputar masalah itu telah dituntaskan di Indonesia, setidaknya sejak periode ketika Buya Hamka menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia. Seperti disebutkan cendekiawan (alm) Nurcholish Madjid, dalam ceramahnya mengenai Estetika di Yayasan Paramadina (1996), Hamka telah mengeluarkan fatwa tentang dibolehkannya pembuatan patung.
“Kecuali, di Yogyakarta, ” tambah Nurcholish, menyebutkan bahwa suatu saat Hamka melihat orang melakukan praktik pemujaan berhala terhadap patung Jenderal Sudirman di Yogyakarta. Rupanya, patung pahlawan nasional yang juga seorang mujahid itu masih dikultuskan orang dengan memberi sesajen dan rangkaian bunga di tubuhnya.
Di sinilah kita menemukan divergensi antara seni dan berhala. Penulis akan terlebih dulu memusatkan perhatian pada persoalan berhala.
Idols atau berhala adalah sosok ciptaan manusia yang dipuja sebagaimana manusia memuja Tuhan. Para penyembah berhala (dalam bahasa Inggris disebut pagan) membuat patung berhala yang mereka puja secara rutin, sambil memberinya persembahan berupa sesajian atau pun korban. Praktik inilah yang dilarang agama, yang di dalam Quran disebut al-anshob,
Hai orang-orang beriman, sesungguhnya (minum) khamar (minuman keras), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji di antara amal-amal syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu supaya kamu memperoleh keberuntungan {QS 5: 90}.
Berhala pada masa awal kehadiran Islam di Tanah Arab mengacu pada patung-patung (kebanyakan berujud wanita) dengan nama-nama seperti Latta, Manna, Uza, dan lain-lain. Orang Arab jahiliyah memuja mereka dan menyisihkan sebagian rezeki hasil usaha mereka untuk berhala-berhala ini. Mereka dapat dikenali lewat penampilan fisik mereka yang ciri-cirinya (ikonografinya) tidak kita ketahui sejauh tak ada hadis atau data sejarah yang mendeskripsikannya.
Yang jelas, imaji berupa patung maupun gambar berhala-berhala itu telah popular di kalangan Arab jahiliyah, sehingga penulis Sehzad Saleem menyebutkan larangan pembuatan imaji yang dimaksud seperti yang terdapat dalam beberapa hadis adalah yang terkait dengan wujud fisik berhala-berhala ini. Persoalannya, ayat-ayat Quran tak berlaku hanya untuk masa lalu. Quran diturunkan untuk menjawab semua persoalan dan mengabarkan hal-hal penting semasa Nabi hidup, pada zaman sekarang ketika Nabi telah wafat, dan untuk masa yang akan datang yang belum tentu kita masih hidup. Yang dimaksud dengan berhala (al-anshob) tentunya bukanlah imaji atau patung yang memiliki karakteristik fisik seperti dimiliki Latta, Uza, dan lain-lain, melainkan pada hakikatnya sesuatu (atau seseorang) yang dipuja manusia sebagaimana ia memuja Tuhan.
Berhala adalah sesuatu atau seseorang yang berpotensi membuat Anda memuja atau menyembahnya sebagaimana orang beriman menyembah Tuhan (misalnya dengan melakukan ritual-ritual tertentu). Berhala adalah sesuatu atau seseorang yang membuat Anda rela mengorbankan sebagian atau seluruh hidup Anda demi dia, sesuatu atau seseorang yang membuat Anda rela mati demi dia; termasuk, berperang demi dia.
Adapun praktik pemujaan atau pengorbanan yang dimaksud menjadi bermakna ŝirk (menduakan Tuhan) apabila dilakukan oleh seseorang yang telah beriman kepada Tuhan; suatu dosa yang tak terampuni kecuali kita bertobat sebelum maut menjemput.
Padahal, Allah adalah Pribadi yang posesif dan kepemilikan-Nya itu mutlak. Di tangan-Nya tergenggam hidup dan mati setiap creatures (padanan Inggris untuk makhluk, ciptaan) di alam semesta. Karenanya, jika orang melakukan sesuatu tidak demi Dia, ia telah berbuat sia-sia. Dan, jika perbuatan demi berhala itu dilakukan oleh orang yang beriman, Allah jelas akan murka kepadanya.
Adapun pandangan Islam terhadap seni sama seperti pandangannya terhadap aktivitas kebudayaan manusia lainnya. Setiap muslim menerima ajaran bahwa manusia tidak diciptakan kecuali untuk beribadah (mengabdi) kepada Allah (QS 51: 56). Namun, ilmu fiqh (kodifikasi hukum Islam hasil ijtihad manusia) mengenal upaya penafsiran terhadap hal-hal yang tidak dirinci dalam Al-Quran. Para fuqoha (ahli fikih), misalnya, telah berijtihad untuk membedakan antara ibadah ‘ubudiyah dan ibadah muamalah.
Yang pertama, ibadah ubudiyah, mengacu pada ibadah yang telah pasti dalilnya dalam Quran, sehingga tidak memerlukan penyesuaian atau perubahan sesuai kondisi zaman. Ibadah ubudiyah contohnya berupa kewajiban ritual seperti salat, zakat, puasa, berkurban pada hari ‘Idul Adha, dan pergi haji; dalam bentuk larangan, ubudiyah mencakup larangan mengabdi berhala, membunuh orang tanpa alasan yang haq (benar), berjudi, mengundi nasib dengan panah, makan babi dan lain-lain. Bobot aktivitas ibadah ini adalah wajib, yang berarti semua hal di luar aturan ibadah adalah haram atau terlarang, kecuali bila ada dalil atau nash (aturan tekstual) yang menghalalkannya.
Salat, puasa bukanlah aktivitas kebudayaan yang berasal dari kebebasan berkreasi manusia. Karenanya, ibadah-ibadah itu tak memerlukan pembaruan atau modifikasi. Setiap usaha modifikasi dinilai sebagai bid-ah, dan hal itu terlarang.
Adapun ibadah muamalah merujuk pada nash yang termaktub secara garis besar dalam Al-Quran yang tidak dirinci lebih jauh, sehingga membuka peluang penafsiran yang luas bagi para fuqoha. Di sini berlakulah prinsip umum bahwa segala bentuk muamalah dibolehkan (halal), sepanjang tidak dijumpai dalil yang mengharamkannya. Umumnya, muamalah mencakup hubungan antara sesama manusia sehingga cenderung bersifat sosial-kemasyarakatan. Di sinilah ibadah kepada Allah berkonvergensi dengan kebudayaan manusia yang berbeda-beda sesuai wilayah kultural.
Perdagangan, misalnya, merupakan muamalah yang halal dan bernilai ibadah sesuai motivasi pelakunya. Artinya, pelaku perdagangan dengan motif lillahi ta’ala (demi Allah semata-mata) dijanjikan menerima reward berupa pahala. Allah hanya melarang praktik riba yang merupakan suatu dalil yang mengharamkan praktik jual-beli tersebut. Jadi, bagaimana dengan praktik seni?
Seni, tak terkecuali, merupakan bagian dari aktivitas muamalah, dengan segala konsekuensi hukum yang menyertainya (seni itu boleh sepanjang tak ada dalil yang melarang). Ia bukan ibadah ubudiyah yang dirumuskan dalam dalil, semua haram kecuali bila ada nash yang membolehkannya. Seni bukanlah semacam ritual seperti salat dengan aturan-aturan yang telah pasti.
Hal ini diakui pula oleh Zaenuddin Ramli, akademisi seni rupa asal Bandung, saat menyampaikan makalahnya dalam sebuah acara seminar yang digelar Galeri Nasional Indonesia, 11—12 Juli lalu. Baginya, seni dalam Islam itu “muamalah, dan (dengan demikian) berubah, transformatif. ”
Zaenuddin mengangkat makalahnya mengenai Festival Istiqlal I (1991) dan Festival Istiqlal II (1995) yang mencoba mengingatkan orang tentang adanya gagasan baru mengenai “seni Islam” yang bukan cuma berupa arabesk (dekorasi dan kaligrafi arab) atau lukisan abstrak, tapi pun karya-karya bermuatan sosial-politik.
Beberapa tahun terakhir ini muncul pula arus pemikiran seni di Indonesia yang berupaya untuk mendobrak dominasi pemikiran Eropa dan Amerika (Barat). Alih-alih mengakui kemajemukan yang menjiwai semangat zaman abad ini, Barat dinilai hanya mengakui satu penafsiran tentang seni (yaitu seni menurut kaca mata Barat). Salah seorang tokoh yang menonjol dalam pemikiran ini adalah kritikus seni Jim Supangkat, yang juga menyebut dirinya “kurator independen”.
Jim berpendapat, penyusunan sejarah seni rupa di Asia, yaitu gejala yang muncul pada awal dekade 1990, merupakan kelanjutan arus besar pemikiran yang bertumpu pada pluralisme dan kesadaran tentang kebedaan. Arus besar ini, yang menjadi dasar berkembangnya seni rupa kontemporer, menentang ketunggalan sejarah seni rupa modern --sebuah sejarah yang didominasi susunan sejarah Eropa dan Amerika.
Menurut Jim, penyusunan sejarah seni rupa lebih mengandalkan pencatatan peristiwa-peristiwa terutama yang terjadi pada abad ke-20. Kecenderungan ini membuat persoalan seni rupa, pada sejarah seni rupa yang disusun, menjadi berjarak dari nilai-nilai budaya.
“Pendekatan sejarah ini tidak (belum) mengikutkan pendekatan lain. Setelah pendekatan sejarah berlangsung selama 10 tahun lebih, belum ada tanda-tanda upaya untuk mengangkat pertanyaan ‘apakah seni rupa’ melalui sejarah seni rupa yang disusun berdasarkan tanda-tanda lokal, ” demikian Jim memaparkan dalam “Pertanyaan Apakah Seni Rupa, ” Visual Arts, # 11, Februari/Maret 2006.
Betapa pun, kita tak dapat menghilangkan unsur agama, sesuatu yang dipercaya sebagai hal yang universal, ketika mempelajari aspek-aspek kebudayaan lokal. Ini sebagaimana disitir Quran mengenai universalitas manusia, antara lain melalui seruan-seruannya, “Wahai anak-anak Adam” (manusia). Bahkan antropologi, seperti yang diperkenalkan antropolog (juga politisi) S Budhisantoso, mengenal “tujuh unsur budaya universal”, yaitu bahasa, organisasi sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan religi.
Contoh mengenai tak terpisahkannya aspek-aspek lokal sebagai bagian dari keseluruhan yang bersifat universal dapat dilihat lewat profil Hanafi (lahir 1960). Ia adalah seorang perupa Indonesia yang, seperti diungkapkan kurator Jim Supangkat, mempertegas perbedaan antara lukisan abstrak Barat (Eropa dan Amerika) dan abstrakisme khas Indonesia. Hanafi punya kecenderungan untuk menampilkan gambaran pada lukisan-lukisannya, sesuatu yang coba dihilangkan dalam lukisan-lukisan abstrak Barat.
Ciri abstrakisme Hanafi, yang tak berbeda dengan abstrak Barat, adalah spontanitasnya dalam berkarya. Tapi, perupa kelahiran Purworejo ini merupakan salah satu dari sedikit perupa Indonesia yang melukis menggunakan perangkat ketaksadarannya. “Kalau dihitung-hitung, saat melukis lebih banyak menggunakan ketaksadaran daripada kesadaran, ” tutur Hanafi menjelaskan proses kreasinya.
“Tentu saja saya dengan sadar mengambil cat. Tapi, kebanyakan karya saya boleh dibilang berasal dari alam bawah sadar. Sebab, melukis bagi saya tak ada tujuan. ”
Apa sebetulnya yang ia maksud dengan “ketaksadaran”? Tampaknya kita memang memerlukan pendekatan psikologis untuk membaca Hanafi. Jim Supangkat menunjukkan bahwa Hanafi lebih mengandalkan energi yang muncul tiba-tiba saat ia menghadapi kanvas. Menurutnya, cara kerja Hanafi muncul dari ketaksadaran yang lebih mencerminkan sifat kerja id dalam konsep Sigmund Freud mengenai karakteristik metode berpikir proses primer dan sekunder.
Jim melihat id sebagai bagian dari psike yang memiliki kemampuan untuk melahirkan tingkah laku kreatif. “Id yang produktif ini merupakan hasil proses kreatif, proses yang memunculkan orde tersembunyi dari bawah sadar manusia, ” papar Jim selaku kurator Pameran Tunggal Hanafi bertajuk Id yang berlangsung di Galeri Nasional Indonesia (2006).
“Saya lebih percaya kepada apa yang terjadi dengan sendirinya ketimbang apa yang dijadikan oleh seorang arsitek atau seniman. Kesenian tak mengenal hukum-hukum konstruksi, ” kata Hanafi sambil menunjuk ke lukisan air brush-nya berjudul Neon Yang Tak Bisa Tidur (2006). “Dalam lukisan saya bisa menempatkan neon tanpa alat bantu konstruksi, ini karena saya lebih didominasi alam bawah sadar. ”
Bagaimana menjelaskan hal ini lewat pendekatan Freudian? Id menurut Freud merupakan salah satu dari tiga sistem dalam hidup psikis, bersama-sama ego, dan superego. Dr K Bertens dalam Memperkenalkan Psikoanalisa Sigmund Freud mengulas id sebagai lapisan psikis paling mendasar, tempat bersemayamnya naluri-naluri seksual, agresivitas, dan keinginan-keinginan yang direpresi. Disebutkan bahwa id tak terpengaruh oleh kontrol pihak ego dan prinsip realitas. Id tak mengenal waktu maupun hukum-hukum logika.
Tapi, kreasi seni di tangan Hanafi tampaknya bukanlah sekadar pengalihan naluri-naluri profan dalam bentuk --menurut istilah Freud-- sublimasi. Lulusan Sekolah Seni Rupa Indonesia ini punya keinginan kuat akan kejelasan makna, tepatnya, makna yang positif, yang ditunjukkan antara lain lewat kecenderungannya menampilkan angka-angka dan tanda baca tertentu dalam lukisannya.
“Saya sedang berusaha mencari ketepatan dalam sebuah komposisi yang sangat matematik karena angka bukan sesuatu yang asing. Angka ada di mana-mana, di meteran tarif taksi, di ponsel, ” kata Hanafi yang pernah mengadakan pameran tunggal di Barcelona, Spanyol (2003).
“Sedangkan tanda (+) berarti positive thinking. Ia merupakan harapan, suatu energi positif yang dibangun dari prasangka baik kepada setiap apa yang tejadi pada kita. Membuat kita tak gamang, tak mencurigai segala sesuatu, ” lanjutnya menerangkan tanda-tanda (+) yang banyak dijumpai pada karya lukisnya.
Seperti diuraikan Jim, Hanafi berusaha menyelesaikan masalah secara struktural. Ia mengatasi persoalan secara keseluruhan bukan secara parsial. “Ada usaha untuk memunculkan sebuah tatanan baru, walaupun ia tidak merasa mengarahkan karyanya untuk membentuk sebuah tatanan yang pre-ordained (bertujuan), ” Jim menambahkan.
Sebuah tatanan (orde) niscaya menunjukkan prinsip keseimbangan, yang secara sadar atau tak sadar sesungguhnya diidamkan oleh manusia. Menurut kosmologi yang islami, yang menyertakan campur tangan Tuhan, alam semesta dicipta menurut prinsip keseimbangan, meski untuk menjaga hal itu ia perlu melalui proses penghancuran (kematian) dan pemulihan.
Bintang dan planet-planet beredar menurut orbitnya dan tak pernah saling menabrak, tapi sebagian benda alam itu harus menemui ajalnya, hancur menjadi debu kosmik. Alam dicipta menurut hukum keseimbangan tertentu sehingga manusia mungkin untuk mempelajarinya.
Manusia mengandung unsur-unsur bumi yang menjadikannya bagian dari alam dan tak kebal terhadap hukum-hukum alam. Psikolog analitis asal Swiss yang pernah belajar kepada (tapi kemudian berseberangan dengan) Freud, Karl Gustav Jung (1875--1961), mengajukan ketunggalan seluruh umat manusia, bahwa mereka adalah genus yang satu dan mewarisi apa yang ia sebut sebagai “alam tak sadar kolektif”.
Seperti diungkapkan dalam Memperkenalkan Psikologi Analitis, pendekatan terhadap Ketaksadaran (Jakarta, Gramedia, 1986), Jung menunjukkan adanya suatu alam tak-sadar yang lebih dalam dari ketaksadaran pribadi, yang bersifat kolektif, sebab dimiliki oleh seluruh bangsa manusia dan terdapat pada segala kebudayaan di dunia ini. Jung mengajukan arketipe sebagai inti atom psikis dari alam tak sadar. Arketipe merupakan pola-pola apriori yang memberi ketentuan terhadap isi material yang bersifat instinktif atau genetik. Arketipe bersifat universal dan selalu terdapat pada manusia secara potensial.
Tapi, para perupa tidak akan menjelaskan hal ini lewat kata-kata. Untuk menunjukkan universalitas manusia, mereka cenderung melukis figur berkepala gundul yang tak berasosiasi dengan kebudayaan mana pun. Perupa kontemporer asal Cina yang pernah berpameran di Indonesia, Xue Jiye, melukiskan orang-orang berkepala plontos terlibat dalam perkelahian massal.
Menjuduli karya itu Bodyfight, Xue seakan mengamini konsep arketipe Jung, yaitu tentang keberadaan potensi-potensi bawah sadar yang dapat disamakan dengan naluri-naluri purba yang dimiliki manusia secara kolektif. Salah satunya, naluri untuk berkelahi atau berperang. “Yang namanya perang itu kan bisa terjadi kapan pun dan di mana pun, ” ujar Xue suatu ketika.
Hanafi, tak terkecuali, punya kecenderungan untuk mengidentifikasi diri sebagai bagian dari keseluruhan, sedangkan keseluruhan itu tunggal (universal). Meskipun berkarya “tanpa tujuan”, ia berusaha mencipta tatanan baru, bergerak ke arah keseimbangan yang khas alam semesta dan telah mewarnai ketaksadarannya.
Hanafi tak membiarkan id-nya bergerak liar tanpa menyertakan kerja ego-nya. Justru di bawah ego --atau psike yang sadar menurut definisi Jung-- seorang individu menemukan ketaksadaran yang sebenarnya, yang telah melalui pertemuan atau dialog dengan realitas spiritual. Ketaksadaran ini lebih lengkap ketimbang sekadar naluri-naluri seksual yang mendasari id Freudian.
Dalam kasus Hanafi, ketaksadaran ini mencakup kebutuhan akan makna, akurasi angka dan data, penghormatan kepada orang tua (terutama ibu), optimisme, kerinduan akan harmoni dan perbaikan (sebagai lawan dari kerusakan), dan sikap pasrah terhadap ketentuan ilahiah.
Mungkin Jung benar ketika menyebutkan tubuh manusia merupakan museum ogan-organ tubuh dengan sejarah evolusi yang panjang, dengan psike (jiwa) masih erat dengan psike binatang. Namun, manusia tak melulu terdiri dari sekumpulan bahan asal planet biru ini. Kitab suci --salah satu rujukan penting yang patut dijadikan hipotesis seperti klaim-klaim ilmiah lainnya-- menyebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dari tanah liat, lalu meniupkan ruh-Nya ke dalam diri manusia (Quran Surah 15: 28-29).
Demikianlah, psikologi yang islami akan membedakan manusia dengan makhluk lain di dunia dalam segi ruhani. Hanya manusia yang memiliki unsur ruh yang bersifat kekal. Jasad manusia boleh hancur bersama tanah, tapi ruhnya akan tetap abadi dan berkelanjutan di kehidupan akhirat. Di sini, hanya individu yang telah mengalami pencerahan belaka yang mampu mengarahkan naluri-naluri purba sejalan dengan nilai-nilai spiritual yang menunjukkan keberadaan Sang Pencipta. Sebagai seorang muslim, Hanafi akan menyebut pencerahan sebagai hidayah, suatu petunjuk untuk mengaktifkan unsur spiritual yang telah menyertai kehadirannya di dunia agar sesuai dengan kehendak Tuhan.
Unsur spirituallah yang berkembang bersama intelijensia seseorang, suatu bentuk kesadaran yang bahkan dipergunakan dalam proses kreasi seorang perupa ketika mencipta karya abstrak sekalipun. Diakui atau tidak, intelijensialah yang menundukkan naluri-naluri purba Hanafi sehingga ia mampu menghadirkan kejelasan makna dalam karya-karyanya.
Sementara itu, perkembangan seni rupa kontemporer semakin memperlihatkan adanya keberagaman tema maupun media. Keberagaman karya itu dinilai menggembirakan, sehinga kurator Galeri Lontar Asikin Hasan pun memujinya. “Cakupan seni rupa makin melebar, bukan cuma lukisan, tapi ada instalasi, video, dan lain-lain, ” ujar kurator yang banyak mengkurasi seni rupa kontemporer ini.
Asikin bicara soal New Media Art (Seni Media Baru), sebuah diskursus sosial di Barat yang kemudian populer menjadi gerakan seni dengan karakternya yaitu menggabungkan elemen-elemen teknologi dan unsur-unsur seni. Di sini teknologi media, termasuk teknologi informasi, merupakan lahan subur tempat berseminya benih-benih gerakan ini. Munculnya televisi, video, komputer, internet, games, dan telepon seluler beserta fasilitas teks dan image-nya membawa perubahan sosiokultural masyarakat.
Betapa tidak. Teve semula dianggap sebagai alat propaganda di mana para penguasa berbicara satu arah. Ketika muncul teve-teve swasta, giliran pengusaha mencekoki konsumen dengan produk-produknya (yang juga menentukan eksistensi siaran edukatif-intelektualnya). Lalu, penyanyi dangdut berjoget erotis ditonton para pemuda tanggung.
Teknologi informasi juga membawa perubahan yang tidak kecil. Internet, misalnya, memudahkan orang mengakses berbagai informasi pengetahuan ketimbang mencarinya di perpustakaan pusat kota dengan waktu berkunjung yang terbatas (ditambah dengan kemacetan di jalan). Tapi, sisi negatifnya, media yang sama menyediakan jutaan images yang seakan tak menyisakan ruang lagi bagi fantasi seseorang (termasuk fantasi seksual), yang bisa membuatnya ketagihan mengarungi jagat maya (surfing).
Demikianlah, seni media baru mengemuka dengan ciri-cirinya seperti terbuka, interaktif, permisif, dan terkadang tampak main-main sebagai suatu diversi atau hobi. Perupa Krisna Murti menyebutkan, karena teknologi mutakhir dimanfaatkan oleh siapa pun, pekerja media baru ini datang dari wilayah yang beragam: seni rupa, sinematografi, ilmu komunikasi, antropologi, arsitektur, seni pertunjukan, teknologi, multimedia, hingga otodidak. Kelihatannya, mereka merasa berhak menciptakan karya seni sesuai pengenalan mereka terhadap medium yang mereka akrabi sehari-hari.
Sebagaimana layaknya studi wilayah yang merupakan kajian antardisiplin ilmu (sejarah, sosial, budaya, bahasa, sastra, dan lain-lain yang terdapat di wilayah atau negara tertentu), cakupan seni rupa kini mencakup bidang-bidang beragam seperti multimedia (termasuk video dan internet), crafts (kriya), fotografi, arsitektur, billboards iklan di jalan-jalan, grafiti di dinding-dinding ruang kota, daur ulang barang-barang bekas, display dan interior di pusat-pusat perbelanjaan, serta --seperti ditambahkan dosen seni rupa ITB Mamannoor-- seni rupa fiber dan hologram. Toh, bidang-bidang (atau disiplin ilmu) yang partikular itu tak dapat dipisahkan dari yang universal.
Di sini, para praktisi seni media baru Indonesia terbukti mampu menunjukkan prestasi yang prestisius, setidaknya di tingkat regional dalam Asean New Media Art Competition (Februari 2007). Seperti diumumkan ketua Dewan Juri Prof Edward Cabagnot dari Filipina, dari enam Pemenang Pertama Kompetisi Seni Media Baru Asean, tiga orang berasal dari Indonesia. Mereka adalah Maulana Muhammad Pasha, dengan karyanya berjudul, Endless Road; Ari Satria Darma, dengan karya film pendeknya berjudul Iqra’ (2005); dan Muhammad Akbar, dengan karyanya Young Tourist from the Near Countries (2006), juga dalam kategori Moving Image.
Karya Maulana yang alumnus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) dalam kategori Moving Image ini menampilkan film berdurasi enam menit 10 detik tentang penelusuran gang-gang sempit di ibu kota untuk mencari sebuah taman kanak-kanak. Film pendek ini terbukti pantas menyandang gelar juara dalam kompetisi seni media baru tingkat Asean yang diikuti para seniman, praktisi media, pelajar dan mahasiswa, peneliti muda teknologi, dan komunitas seni dari seluruh kawasan Asia Tenggara.
Sedangkan Ari Satria Darma melontarkan ide menggelitik dalam karyanya Iqra’, bagaimana seandainya huruf-huruf menghilang dari peradaban manusia? Dengan cermat alumnus Institut Kesenian Jakarta ini melenyapkan secara berangsur huruf-huruf yang semula tedapat di tempat-tempat umum, marka-marka jalan, dan toko-toko.
Adapun Muhammad Akbar, alumnus IISIP, menampilkan ekspresi para remaja --tampaknya remaja Indonesia-- yang secara bergantian diberi label “negara asal” mereka masing-masing, yaitu negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Akbar tampak ingin menyampaikan pentingnya komunikasi dan mekanisme saling mengenal. Lihat saja, profil wajah penduduk di negara-negara di kawasan Asia Tenggara nyaris tak ada bedanya satu sama lain. Hanya dengan saling menyapa --berbicara satu sama lain-- kita dapat mengetahui identitas masing-masing. Dan bukankah manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya saling mengenal (Quran S 49: 13)?
Maka, jika ketunggalan sejarah seni yang didominasi Barat itu sulit diterima, kesamaan makna hakiki seni seperti yang dipersepsi seluruh manusia dari berbagai wilayah budaya akan lebih masuk akal. Pada hakikatnya, seni mengaktualisasikan potensi seni yang secara universal dimiliki seluruh manusia. Potensi yang dimaksud cenderung akan keindahan, yaitu hal-hal yang bila dipersepsi secara indrawi dapat memberikan kenikmatan psikis maupun spiritual. Di sini, penulis menilai bahwa keindahan adalah salah satu aspek penting dari akhlak (moral).
Wilayah akhlak tak hanya berbicara soal baik dan buruk. Akhlak bahkan dicanderakan mengandung semua nilai yang diperlukan manusia untuk keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (lihat Rachmat Taufiq Hidayat 1990, Khazanah Istilah Al-Quran, Bandung, 1990).
Akhlak mencakup unsur-unsur seperti keberanian, ketekunan, ketelitian, kedisiplinan, kesabaran, ketegasan, kehalusan (subtlety), kelembutan, semangat dan gairah, empati, kasih sayang, kecenderungan akan perubahan yang lebih baik, Kecenderungan akan keindahan, kecenderungan akan keseimbangan, kecenderungan akan kejelasan makna, kecenderungan akan perdamaian; pendeknya, hal-hal yang amat berharga dalam suatu pencapaian karya seni. Akhlak memperkuat landasan seni, bagaikan fondasi mengokohkan bangunan. Akhlak adalah acuan bagi seluruh aktivitas manusia, termasuk aktivitas seni.
Candi Borobudur tak akan berdiri dengan megah dan menjadi salah satu ikon kebudayaan dunia jika para senimannya tak punya moral yang kuat buat menyelesaikan proyek religius tersebut. Lalu, Taj Mahal di India menjadi tanda akan salah satu ungkapan kasih teragung pada masanya (1631 M), ketika penguasa muslim Sultan Syeh Yehan membangun karya yang megah itu dilambari suatu energi cinta yang tak pernah pudar terhadap permaisurinya yang amat ia kasihi, yang telah meninggal dunia lebih dahulu, Mumtaz Mahal.
Salah satu unsur akhlak yang penting dalam seni adalah, bersih. Kebersihan adalah sebagian dari iman, demikian hadis Nabi yang popular. Kebersihan bahkan merupakan syarat minimal dari keindahan, karenanya, bersih itu indah. Kritikus Agus Dermawan T, misalnya, tak setuju adanya penggunaan barang najis untuk karya seni, apalagi untuk membuat patung orang suci (yang bahkan dapat digolongkan sebagai tindakan penistaan agama). Dalam bukunya, Bukit Bukit Perhatian (Jakarta 2004), alumnus ASRI (kini ISI) Yogyakarta ini berpendapat bahwa kegundahan publik atas perkembangan moral seni juga terjadi di Inggris sekalipun, yang jauh lebih liberal ketimbang Indonesia.
Di sini, masyarakat mengecam pemilihan hasil kompetisi Turner Prize yang diadakan Tate Gallery’s Patrons of New Art. Pasalnya, pada 1999 kompetisi yang kontroversial ini memenangkan karya Chris Ofili, The Holy Virgin Mary, yaitu patung Bunda Maria yang dibuat dan diseraki kotoran gajah, dengan disertai cuplikan foto-foto yang diambil dari majalah porno.
Akhirnya, sebagaimana kita saksikan dalam perkembangan mutakhir yang melanda jagat seni, seni rupa tidak dapat berdiri sendiri. Seni juga bersifat fungsional, dan menjadi komoditi perdagangan. Mengapa tidak? Yang penting halal, melibatkan interaksi (dan transaksi) yang suka sama suka serta tak mengandung unsur penipuan. Seni menjadi bagian dari aktivitas muamalat. Di sini, selain publik penikmat seni, ada pula pengayom, penguasa, dan pemodal yang ikut berperan dalam menentukan eksistensi seni rupa.
Produksi karya kriya sebagai komoditas ekonomi bukanlah sesuatu yang tabu. Bahkan, hal yang sama berlaku bagi karya-karya “murni” seni rupa lainnya. Almarhum Prof Dr Sudjoko yang guru besar ITB (meninggal tahun 2006) menyebutkan, citra bahwa seniman harus membuat lukisan untuk ekspresi pribadi melulu tanpa ambil pusing kemauan orang lain, sebetulnya adalah citra baru. Sudjoko menyebutkan hal ini saat mengantar katalog pameran koleksi Dewan Kesenian Jakartan (DKJ), Seni: Pesanan (Jakarta, Komite DKJ, 2006). Seperti diketahui, DKJ pernah menggelar pameran “pesanan” tersebut pada 1974 yang disponsori perusahaan negara Pertamina.
Menurutnya, sesungguhnya sangat banyak seniman besar yang bekerja untuk macam-macam “Pertamina”, baik itu yang namanya Rembrandt, Raden Saleh, atau Picasso. Bahkan, “sang Pertamina” ini bisa juga rakyat jelata, asal berduit banyak. Pada 1641 seorang pelancong Inggris, John Evelyn, melaporkan bahwa pelukis-pelukis Belanda disokong oleh petani, penjagal, tukang sepatu, pandai besi, dan pembakar roti. Para petani lebih berani beli satu lukisan dengan harga 2000 sampai 3000 florin (100 florin setara dengan 100 ribu rupiah). Kata Evelyn, lukisan-lukisan ini bergantungan di bengkel besi dan di kandang sapi. Para pelukis besar seperti Renoir, Monet, Gauguin juga punya pemodal tersendiri, yang sering menanggung hidup mereka, sungguh pun karya-karya mereka tidak laku. Mereka adalah pedagang-pedagang seni.
Sudjoko akhirnya mengajak kita untuk menarik pelajaran, bahwa, mutu seni tidak ditentukan oleh siapa yang memulai kerja seni. Begitu pun kreativitas, bisa mulai dari seniman sendiri, bisa pemesan --yang mengatur bentuk dan isi seni, “Bisa masyarakat, bisa adat, bisa ideologi, bisa politik, bisa agama”.
Bicara soal pemilahan antara seni dan kerajinan (craft), Sudjoko mengingatkan bahwa jagat seni rupa punya pabrik lukisan raksasa yang dimiliki oleh Peter Paul Rubens (1577--1640), seorang seniman besar. Pegawainya banyak sekali, di antaranya terdapat pelukis-pelukis seperti Anthonie van Dyck dan Jacob Jordaens.
“Kerjaan Rubens adalah cari order, lantas ia membuat sketsa-sketsa kecil, lalu sketsa-sketsa ini diberikan kepada para pegawainya, yang kemudian membesarkan sketsa Rubens pada kanvas-kanvas besar dan memulasnya dengan warna-warna. Sementara itu Rubens duduk di kursi dan memberi macam-macam komando (instruksi), lantas ia pergi berdiplomasi (dia itu duta besar!) dan cari pesanan, dan sekembalinya di pabriknya ia masih sempat ambil kuas, membubuhi finishing touches kepada barang 10 lukisan, dan tentunya plus tanda tangannya. ”
Sudjoko juga menyebut contoh dari dunia Timur. Di Jepang, sejak 728 terdapat pabrik-pabrik lukisan yang semula bernama Edakumi-ryo (di Nara) dan kelak terkenal dengan nama Edokoro. Bisa diinterpretasikan sebagai ‘biro pelukis’, setiap lukisan di sana dikerjakan sejumlah orang: ahli desain, ahli pewarnaan, ahli tinta, “dan macam-macam kacung ikut campur. ”
“Tahukah Anda, ” ujar Sudjoko, “Leonardo da Vinci pernah jadi kacungnya Andrea Verrochio? Kerjaan dia misalnya mencampur-campur cat, mencuci kuas, dan beli makanan. ”
Akhirnya, Sudjoko menyimpulkan, “buat apa malu mengaku sebagai industri dan sebagai bisnis? Seni selamanya begitu, dari zaman Mesir sampai sekarang. ”
Sampai di sini setidaknya kita bisa menyimpulkan, yang disebut seni bukan hanya ekspresi invidual tentang keindahan, melainkan juga dapat menjadi bagian dari karya kolaboratif yang bersifat fungsional. Seni melengkapi hasil budaya lainnya, seperti bangunan, kerajinan, perabotan, dan buku ilmiah (misalnya berupa ilustrasi).
Lalu, Islam bukanlah aliran atau genre kesenian tertentu. Yang disebut kesenian Islam adalah istilah yang tak punya batasan ketat tentangnya. Seni dapat digolongkan ke dalam ibadah muamalat dengan “aturan main” bahwa semua boleh kecuali bila ada nash yang melarangnya.
Bahkan, semua karya seni, sepanjang tak melanggar akhlak yang islami, adalah seni Islam. Sebuah definisi yang longgar, yang justru memberi peluang yang luas bagi para seniman untuk berkarya.